Facebook
hstcunesa
Instagram
hstc_unesa
Line
@yyx7084w
Login / Register

Rekonsiliasi Fiskal

Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan pajak.” (Agoes dan Trisnawati,2007:177)

Fungsi Rekonsiliasi Fiskal

Adanya rekonsiliasi pajak atau koreksi pajak mempunyai sebuah fungsi sebagai penyesuaian terhadap transaksi sesuai dengan sistem akuntansi keuangan dan peraturan dalam perpajakan yang berlaku (Undang-Undang perpajakan).

Tujuan Rekonsiliasi Fiskal

1. Meneliti Kembali Draft Yang Sudah Dibuat

Koreksi fiskal sangat penting dilakukan setelah laporan keuangan dibuat oleh perusahaan. Teliti kembali draft tersebut sebelum diberikan ke dirjen pajak. Meneliti draft tentu didasarkan data-data yang sudah ada dengan memperhatikan transaksi, lakukan penyesuaian antara penghasilan oleh wajib pajak.

2. Sebagai Alat Untuk Memenuhi Draf Laporan

Dirjen pajak mengeluarkan aturan dan regulasi kepada wajib pajak. Agar draft bisa terpenuhi dengan baik maka perusahaan wajib melakukan rekonsiliasi fiskal untuk melihat ada tidaknya kerancuan pada laporan yang sudah dibuat. Karena jika terjadi kesalahan akibatnya akan terjadi kesalahan hitung untuk nominal pajak.

3. Meminimalisir Adanya Kesalahan Hitung Pajak Dengan Bisnis

Pentingnya koreksi pada fiskal menghindari adanya kesalahan perhitungan pajak, karena dalam bisnis jika ada nominal angka yang salah bisa jadi akan merugikan perusahaan. Oleh karena itu, ketelitian dalam melakukan rekonsiliasi fiskal ini dibutuhkan penyesuain data, transaksi hingga penghasilan yang benar.

Koreksi Fiskal Positif dan Negatif

  • Koreksi fiskal positif: koreksi fiskal yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau rugi fiskal berkurang sehingga laba fiskal lebih besar dari laba komersial atau rugi fiskal lebih kecil dari rugi komersial.

Faktor yang menyebabkan koreksi fiskal menjadi positif:

  • Beban biaya dalam kepentingan pribadi wajib pajak.
  • Imbalan atau penggantian terkait dengan pekerjaan atau jasa.
  • Dana cadangan.
  • Kelebihan pembayaran kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa terkait dengan pekerjaan yang dilakukan.
  • Pajak penghasilan.
  • Harta yang dihibahkan.
  • Pembayaran gaji kepada pemilik.
  • Sanksi administratif.
  • Selisih penyusutan atau amortisasi komersial.
  • Biaya dalam menerima, menagih, dan menjaga penghasilan yang terkena PPh Final.
  • Kesesuaian dengan fiskal positif lainnya yang tidak berasal dari faktor yang sudah disebutkan.

Contoh Jenis

  • Pemupukan dana cadangan
  • Pembagian lama dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen
  • Pajak peghasilan
  • Premi Asuransi
  • Koreksi fiskal negatif: koreksi fiskal yang mengakibatkan laba fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah sehingga laba fiskal lebih kecil dari laba komersial atau rugi fiskal lebih besar dari rugi komersial.

Faktor yang menyebabkan koreksi fiskal menjadi negatif:

  • Selisih komersial di bawah penyusutan fiskal.
  • Pendapatan yang terkena PPh Final serta penghasilan tidak termasuk objek pajak, tetapi termasuk dalam peredaran usaha.
  • Penyusutan fiskal negatif lainnya.

Contoh Jenis

  • Penghasilan berupa hadian undian
  • Penghasilan dari transaksi saham
  • Penghasilan dari transaksi pengalihan harta
  • Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan

Perbedaan Laporan Keuangan Komersian dan Laporan Keuangan Fiskal

Perbedaan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal berdasarkan pembebanannya dapat dibedakan dua macam, yaitu:

1. Beda Tetap

Beda Tetap, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang tidak boleh dikurangkan pada penghasilan kena pajak. Beda tetap diakibatkan oleh transaksi yang diakui wajib pajak sebagai pendapatan atau biaya, sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Rekonsiliasi beda tetap membedakan antara  laba kena pajak dengan laba akuntansi sebelum pajak yang muncul karena transaksi yang -mengacu pada UU Perpajakan- tidak terhapus dengan sendirinya pada periode lain.

Contoh Biaya

  • Biaya Pajak Penghasilan
  • Biaya Sumbangan
  • Biaya Sanksi Perpajakan

Contoh Penghasilan

  • Sumbangan
  • Penghasilan Bunga Deposito
  • Hibah

Contoh Beda Tetap Pada Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan

sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang  perpajakan.

biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)

Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial  namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.

Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun  secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.

Contoh kedua Beda Tetap

Misalnya berikut ini adalah laporan laba/rugi komersial sederhana dari PT. ABC 

Laporan L/R Komersial

Jumlah

Penjualan Bruto

3.000.000

HPP

(200.000)

Laba Kotor

3.200.000

Biaya Saksi Pajak

(100.000)

Penghasilan Bunga Deposito

200.000

Penghasilan Sumbangan/Donatur

300.000

Laba Bersih

3.600.000

 

Di dalam laporan laba /rugi di atas dilihat bahwa ada komponen penghasilan bunga Deposito sebesar 200,000. Penghasilan bunga deposito ini merupakan salah satu penghasilan yang tergolong final maka penghasilan bunga Deposito ini harus dilakukan koreksi / penyesuaian fiskal.

Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan.

2. Beda Waktu

Beda waktu, yaitu perbedaan pembebanan suatu biaya dimana jangka waktu pembebananya berbeda.Beda waktu disebabkan oleh bedanya waktu antara sistem akuntansi dan sistem perpajakan. Jadi, transaksi yang menurut akuntansi komersial dan pajak sama, tetapi perbedaan terletak pada waktu alokasi biaya. Ada beberapa sebab atau kondisi terjadinya beda waktu. Beda waktu ini sebagian besar disebabkan karena metode/asumsi yang digunakan di dalam akuntansi komersial. Metode/asumsi ini akan berdampak pada penilaian akun-akun di dalam laporan keuangan. Pada umumnya terjadi pada akun-akun persediaan, piutang dagang, aktiva tetap, investasi, dan lain-lain. Koreksi beda waktu juga dapat terjadi karena perbedaan metode penyusutan, di mana menurut UU PPh, metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus (straight line method) dan saldo menurun (double declined method).

Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :

Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.

Contoh Biaya

  • Biaya Sewa
  • Biaya Penyusutan

Contoh Penghasilan

  • Pendapatan lebih selisih kurs

Contoh Beda Waktu :

Biaya penyusutan, perusahaan menetapkan masa manfaat aktiva 10 tahun, tapi berdasarkan fiscal Cuma 4 tahun, maka akan terjadi pembebanan yang berbeda.

Contoh 2

Dari data di atas kita dapat menghitung laba menggunakan ketiga metode di atas sebagai berikut

FIFO

Sebelum menghitung laba, kita hitung terlebih dahulu persediaan akhir:
Persediaan akhir = Persediaan awal + Pembelian – Penjualan
= 10 unit + 35 Unit – 40 Unit
= 5 Unit

Permasalahannya harga pokok yang mana yang digunakan untuk menilai persediaan akhir tersebut. Karena Metode yang digunakan FIFO maka harga yang digunakan adalah harga yang terakhir dibeli. Jadi nilai persediaan akhir menjadi = 5 Unit X Rp 1,200 = Rp 6,000,-

Penjualan

,80,000

Harga Pokok Penjualan

 

Persediaan Awal

,10,000

Pembelian

,39,500

Barang Siap dijual

,49,500

Persediaan Akhir

, 6,000

HPP

,43,500

Laba

,36,500

Jadi jika menggunakan metode FIFO diperoleh laba Rp 36,500.-

LIFO

Masih menggunakan hasil persediaan pada metode FIFO sebesar 5 Unit. Karena Metode yang digunakan LIFO maka harga yang digunakan adalah harga yang pertama dibeli. Jadi nilai persediaan akhir menjadi = 5 Unit X Rp 1,000 = Rp 5,000,-

Penjualan

,80,000

Penjualan

 

Harga Pokok Penjualan

 

Persediaan Awal

,10,000

Pembelian

,39,500

Barang Siap dijual

,49,500

Persediaan Akhir

, 5,000

HPP

,44,500

Laba

,35,500

Jadi jika menggunakan metode LIFO diperoleh laba Rp 35,500.-

AVERAGE

Masih menggunakan hasil persediaan pada metode FIFO sebesar 5 Unit. Karena Metode yang digunakan Average maka harga yang digunakan adalah harga rata-rata.

Harga rata-rata = Nilai barang siap jual/unit
= Rp 49,500/45 unit = Rp 1,100, –
Jadi nilai persediaan akhir menjadi = 5 Unit X Rp 1,100 = Rp 5,500,-

Penjualan

,80,000

Harga Pokok Penjualan

 

Persediaan Awal

,10,000

Pembelian

,39,500

Barang Siap dijual

,49,500

Persediaan Akhir

, 5,500

HPP

,44,000

Laba

,36,000

Jadi jika menggunakan metode LIFO diperoleh laba Rp 36,000.-

Dari ketiga metode di atas, diketahui bahwa laba yang tertinggi diperoleh jika menggunakan metode FIFO dan yang terendah adalah jika menggunakan metode LIFO.

Oleh karena itu berdasarkan undang-undang PPh metode LIFO ini tidak diperkenankan digunakan oleh perusahaan dalam menghitung nilai persediaan.

Berdasarkan UU PPh Pasal 10 Penilaian persediaan hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan, yang didasarkan atas pemakaian persediaan.

Untuk penghitungan harga pokok yang dilakukan secara ratarata ataupun yang dilakukan dengan mendahulukan persediaan yang di dapat pertama.

Ketika awalnya perusahaan dalam menghitung nilai persediaan menggunakan metode LIFO, maka dalam Laporan keuangan fiskal perlu dilakukan koreksi fiscal karena harus menggunakan metode yang diperbolehkan berdasarkan undang-undang PPh.

Langkah Rekonsiliasi Fiskal

Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk melakukan rekonsiliasi fiskal, antara lain:

  1. Mengenal terlebih dahulu penyesuaian fiskal yang diperlukan
  2. Menganalisa elemen-elemen penyesuaian guna menentukan pengaruhnya terhadap laba usaha kena pajak
  3. Menyesuaikan atau mengoreksi fiskal dengan melakukan koreksi fiskal positif dan negatif
  4. Menyusun laporan keuangan secara fiskal sebagai lampiran SPT tahunan pajak penghasilan

Contoh Rekonsiliasi Fiskal

  1. ABADI JAYA SENTOSA (AJS) bergerak dalam bisnis perdagangan kain tenun. PT AJS merupakan wajib pajak badan yang berdomisili di Jepara, Jawa Tengah. Informsasi dan data laporan keuangan komersial PT AJS pada 2019 adalah sebagai berikut (dalam ribuan rupiah):

Keterangan Tambahan :

  • Penyusutan fiskal menggunakan metode garis lurus
  • Persediaan akhir dinilai dengan metode LIFO, sedangkan apabila dinilai dengan metode FIFO sebesar Rp700.000.000
  • Membayar PPh pasal 22 sebesar (1,5% x Rp200.000.000) = Rp3.000.000
  • Membayar PPh pasal 23 sebesar (2% x Rp10.000.000) = Rp200.000
  • Membayar PPh pasal 25 selama 12 bulan untuk setiap masa pajak Rp5.000.000 selama tahun 2019.

Pertanyaan:

  1. Buatlah rekonsiliasi fiskal untuk PT. AJS, sehingga diketahui penghasilan kena pajaknya.
  2. Hitunglah PPh Pasal 29 untuk tahun pajak 2019.

 

Penghitungan PPh Pasal 29 PT AJS untuk tahun pajak 2019:

Dengan demikian, PT AJS wajib melunasi sisa kekurangan pembayaran PPh Badan terutang tahun pajak 2019 sebesar Rp6.550.000 maksimal sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan.

Sumber :

https://www.rusdionoconsulting.com/rekonsiliasi-fiskal-cara-cocokan-laporan-keuangan-dengan-perpajakan/

https://www.beecloud.id/pengertian-dan-fungsi-rekonsiliasi-fiskal-di-pelaporan-pajak/#:~:text=Rekonsiliasi%20fiskal%20merupakan%20lampiran%20SPT,yang%20meliputi%20pendapatan%20dan%20beban.

https://www.terraveu.com/pengertian-rekonsiliasi-fiskal/

https://accurate.id/ekonomi-keuangan/pengertian-koreksi-fiskal/

https://dosen.perbanas.id/koreksi-fiskal/?print=print

https://www.terraveu.com/rekonsiliasi-fiskal/